Hujan sudah berhenti. Awan gelap telah hilang dari langit. Aku tiba di Fionnphort, sebuah pelabuhan kecil di Isle of Mull, Skotlandia. Aku sedang dalam perjalanan ke Iona. Dari tempatku berdiri, aku sudah bisa melihat pulau Iona. Hanya butuh lima belas menit lagi dengan kapal feri untuk bisa menginjakkan kakiku di pulau itu. Aku melompat ke feri, kewalahan tapi tetap bersemangat.
Tak lama, akhirnya aku sampai di dermaga pulau kecil itu. Aku melangkah keluar dari feri menuju dek pelabuhan, melihat ke sekeliling, lalu mataku menangkap peta raksasa di sisi lain pelabuhan. Segera kulangkahkan kaki menuju papan besar di mana peta pulau Iona terpampang.
Seperti yang saya tahu hanya ada satu perkemahan di Iona, terletak tidak jauh dari pelabuhan. Dan mbah google bilang letaknya hanya lima belas menit berjalan kaki dari pelabuhan.
Setelah mempelajari peta, aku mulai berjalan menyusuri jalan di sisi pelabuhan, berharap akan segera menemukan perkemahan. Setelah lima belas menit berjalan, aku masih tidak menemukan perkemahan. Kakiku sudah lelah; perjalanannya sungguh tidaklah mudah. Aku harus berjalan mendaki ke bukit dengan ransel yang cukup berat.
Tak ada tanda-tanda perkemahan di sekitar, yang ada hanya rumah penduduk lokal. Seandainya saja ada orang lain di sana, sudah pasti aku akan bertanya arah. Orang lokal tentu tahu di mana letak perkemahan itu, sayangnya tak seorangpun di sana, sepi banget. Kesunyiannya membuatku membayangkan film horor, atau film tentang serial killer. Argh!! Yang ada aku malah jadi takut dan ragu untuk melanjutkan langkah. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk berjalan kembali ke pelabuhan. Semoga aku bisa menemukan seseorang untuk bertanya sana.
Lima belas menit perjalanan kembali ke pelabuhan berlalu. Aku tiba di pelabuhan lagi, tapi tidak ada seorang pun di sana. Mendadak linglung. Ke mana semua orang yang tadi berbondong-bondong datang ke pulau ini? Ku lirik jam di pergelangan tanganku; pukul 19:00. Akupun mulai panik. Satu-satunya hal yang bisa ku lakukan adalah mempelajari kembali peta, dan berjalan menempuh jalan yang sama lagi. Urgh! Kali ini aku berjalan sambil menggerutu. Kaki ku sudah sangat sangat lelah, dan ransel di punggungku kini mulai terasa pilu di pundakku.
Tak lama, aku mendengar mesin mobil datang dari belakang. Aku berhenti, melangkah ke trotoar, dan membiarkan mobil itu lewat. Maklum jalanannya kecil. Aku masih mengerutu. Dan sama halnya seperti awan menutupi matahari sore itu, aku sibuk menggerutu dan tidak bisa berpikir jernih.
Sewaktu mobil itu lewat, aku lihat ada logo di sisi mobil: sebuah logo dengan tenda hijau dengan kata ‘PERKEMAHAN’ di atasnya. Logo itu tampak tak asing di mataku (logo yang sama seperti yang ada di website mereka). Setelah beberapa detik, aku baru tersadar kalau mobil itu sudah tentu dari perkemahan, sayangnya mobil itu sudah jauh. Aku berlari, melambai, dan berteriak sekencang mungkin mencoba untuk menghentikan mobil itu, tapi mobil itu berlalu. Mobil itu pergi, dan aku makin grumpy.
Setelah tigapuluh menit berjalan, akhirnya aku melihat papan besar bertuliskan perkemahan. Lega rasanya begitu menemukan perkemahan itu. Buru-buru ku pasang tenda dan bikin kompor. Kalian bisa nonton video tentang bagaimana aku bikin kompor di sini, atau video di bawah.
Tak lama setelah aku selesai memasang tenda, aku duduk di dalam tenda dan berdiam. Di tengah kelelahan tubuh aku mencoba melihat kembali proses perjalananku ke tempat itu. Setidaknya perjalanan ini mengajarkanku empat pelajaran berharga:
1. Membaca peta tidak berarti perjalanan kita akan lebih mudah dan tanpa tantangan.
2. Seringkali kita menyerah ketika kita sudah dekat dengan tujuanku.
3. Tidak ada yang salah dengan ‘putar balik’ asalkan itu menolong kita dalam perjalanan. Tapi ada harga yang harus di bayar untuk itu, setiap kali kita putar balik, sudah tentu itu akan memakan lebih banyak waktu dan energi. Mungkin ini buat yang susah move on kali ya. Masa lalu tinggalkan di belakang, sesekali saja dilirik untuk belajar.
4. Tak jarang kita berharap untuk bisa ‘nebeng’ proses orang lain yang tampaknya lebih mudah dan lebih cepat dibanding proses yang harus kita jalani. Kita sering lupa bahwa setiap kita memiliki prosesnya sendiri.
Begitulah kisah perjalananku di Iona. Aku gak akan lupa tentang pengalaman dan pelajaran yang ku dapat lewat perjalanan ini.
Btw, dari keempat poin di atas, kira-kira mana nih yang kamu paling setuju?
Stay courageous,