Setelah kisah Supir Taksi Tobat, kisah gue berlanjut lagi. Bus biru itupun akhirnya sampai juga di terminal Glasgow- Scotland. Kalau di sini disebutnya Coach Station. Dari tempat itu gue harus segera berganti bus yang menuju ke Oban. Cuaca kala itu cerah, tapi toh tetap saja dingin. Apalagi Scotland memang jauh lebih dingin daripada wilayah lain di Britania Raya ini.
Setelah tanya-tanya, akhirnya gue berhasil menemukan bus yang akan membawa gue ke Oban. Segera gue naik dan ambil posisi duduk tepat di belakang supir. Setelah meletakkan barang-barang, gue minta pak supir untuk menunggu gue 5 menit saja karena gue pengen beli kopi. Untungnya supir busnya baik dan ersedia menunggu. Gue pun melesat turun dan menuju ke kafetaria kecil dan beli Americano di sana. Sekedar untuk menghangatkan badan. Satu cup Americano seharga £2.50 sudah di tangan. Di kasir, gue keluarkan uang pecahan £10 untuk membayar. Dan saat pria di belakang mesin kasir mengembalikan sisanya, gue terkejut. Ini uang apa? Kok wujudnya beda gini dari Sterling? Eh, hampir lupa… gue kan di Scotland sekarang bukan lagi di Inggris. Yup, Scotland memang bagian dari Britania Raya, tapi mereka memang punya mata uang sendiri. Bukan cuma itu, walaupun bagian dari Britania, namun Scotland punya lembaga hukum, pendidikan, dan lain-lainnya sendiri. Well, at least gue segera ingat di mana gue berada kala itu. Pria di belakang mesin kasir sendiri tampaknya paham apa yang gue alami, dia tersenyum lalu bilang “Welcome to Scotland, mam.” Gue balas nyengir dan minggat segera. Begitu kembali ke bus, gue duduk di belakang supir, dan bus itupun segera berangkat. Thank you, Pak Supir. Cucoooo deh.
Perjalanan dari Glasgow ke Oban butuh waktu sekitar 3,5 jam. Rutenya agak-agak ngeri. Mirip-mirip perpaduan Alas Roban sama Jalanan di Puncak. Bahkan jalan lebih sempit dan kirinya jurang. Lucunya, setalah mendaki gunung lewati lembah, ketemulah sama laut. Dan gak bisa dipungkiri, beberapa lokasi yang dilewati pemandangannya ciamik.
Setelah 3 jam lebih duduk di bus yang bergerak meliuk sepanjang pejalanan, bahkan gue sempat agak mabuk, akhirnya sampai juga di terminal Oban. Segera guemelangkah mencari terminal feri. Letak terminal feri pun tak jauh dari terminal bus itu sendiri. Hanya butuh 5 menit untuk sampai di depan konter tiket. Gue langsung beli tiket Oban-Craignure dan Fionnphort-Iona, masing-masing return tiket. Setelahnya, perlu menunggu 30 menit sampai semua penumpang dipanggil untuk masuk ke feri. Tak lama, feri pun berlayar meninggalkan dermaga.
Setelah diombang-ambing gelombang selama lebih kurang 46 menit, feri bernama Caledonia MacBrayne itu pun singgah di dermaga Craignure. Gue langsung melesat ke muka pintu. Enggan berlama-lama karena membayangkan antrian keluar yang akan begitu panjang mengingat ratusan orang ada di feri tersebut. Butuh waktu kira-kira 15 menit lagi sampai feri benar-benar siap untuk menurunkan penumpang. Karena masih harus menunggu, gue kembali duduk di sofa yang tidak jauh dari pintu. Sewaktu duduk gue merasa ada yag janggal dengan sofa itu. Gue bisa merasakan ada benda persegi tipis yang terselip di sofa itu. Saat gue rogoh ke dalam bantalan sofa, mata gue berbinar dan jantung berdetak lebih cepat karena senang. Guess what, gue nemu iphone!
Lucunya, bule-bule di sekitar yang melihat gue saat menemukan iphone itu justru bilang “Wow jackpot! You are lucky girl! Keep it.” Gitulah kurang lebih yang dibilang 2 cowo bule yang kelihatannya para backpacker sejati dengan tas gunung guede banget nempel di pundak masing-masing mereka. Seorang perempuan blonde yang merangkul erat satu dari 2 bule itu senyum-senyum lalu berkedip ke arah gue.
Aneh ih, bukannya bantuin nanya ada yang merasa kehilangan ponsel atau nggak, ini malah ngomporin orang. Gak bener ah. Parahnya, gegara 2 bule tadi ngmongnya pake toa, bule-bule yang lain malah ikutan ngomporin. Ada juga sih yang jujur dan menyarankan gue untuk lapor petugas. Eh mereka malah debat…”kalo lapor petugas nanti petuganya yang hoki, padahal yang nemu kan si mbaknya. Biar aja dia yang dapet, rejeki dia,” gitulah kira-kira. Berhubung mereka jadi sibuk sendiri ya udah gue ngeloyor meninggalkan mereka. Buru-buru gue ke cafe yang letaknya juga gak jauh dari tempat gue duduk. Gue lapor ke seorang pria yang lagi sibuk mencet-mencet till/ mesin kasir. Dia langsung ambil iphone itu. Lalu gue melangkah balik ke pintu keluar, tapi galau. Bener juga ya kata bule tadi, kalau petugasnya yang nge-keep, sama aja boong ah. Langsung gue ambil langkah seribu balik ke kasir di mini cafe tadi dan minta tolong petugas kasir tadi untuk ngumumin kalau telah ditemukan iphone tersebut. Dia gak mau dengan alasan nggak ada pengeras suara di situ. Ih tuh kan nyebelin. Dengan gondok gue langsung membaur lagi ke barisan penumpang yang udah mau keluar. Untungnya di situ gue lihat ada petugas jaga pintu yang kelihatannya bersiap untuk buka pintu. Segera gue samperin sang petugas dan gue ceritakan apa yang terjadi. Syukurlah tanpa di suruh, petugas yang ini langsung jerit-jerit ngasih pengumuman buat yang ngerasa kehilangan ponsel tolong lapor. Cerdiknya dia nggak sebut apa ponsselnya. Serentak para penumpang ngecek ponsel masing-masing dan dari barisan belakang ada suara cewek agak histeris “sh*t my mobile!”
Well, setelah petugas pintu tanya ke cewek itu apa ponselnya dan ternyata sesuai dengan iphone yang gue temukan. Buru-buru gue ajak si teteh bule itu ke mas-mas kasir yang mukanya sekarang ditekuk. Hahaha gak jadi hoki ya mas. Biarin dia manyun, yang penting mbak bule senang hapenya gak jadi hilang. Sedangkan gue lega banget karena berhasil berbuat yang seharusnya.
Jujur deh, waktu ini kejadian, gue itu harus melawan rasa takut dan malu-malu yang selama ini melekat erat dalam diri gue. Iya, gue ini seorang introvert. Entah berapa kali gue gigitin bibir bawah karena perpaduan rasa gugup dan keinginan untuk berbuat benar.
Lewat pengalaman ini gue belajar, bahwa rasa takut, rasa malu, bisa menghentikan niat baik seseorang. Dan gak jarang orang yang sebenarnya tahu harus berbuat baik, urung. Gak jarang kita lebih memilih diam atau mengikuti kata kebanyakan orang sekalipun kita tahu bukanlah yang terbaik. Memang sih, to feed our fear is easier that to overcome it. Dan tendensi kita sudah tentu melakukan apa yang mudah dan nyaman, bukan?
Perjalanan kala itu memberi gue pelajaran berhaga. Gue bertekad gak akan berhenti untuk meng-overcome setiap ketakutan dan kelemahan yang gue punya. I expect discomfort when I chose to be an overcomer!
Pintu keluar feri itu dibuka. Orang berbondong-bondong menyusuri jalur exit. Perasaan lega memberikan kehangatan di tengah cuaca dingin saat itu. Hujan. Tiba-tiba 2 cowo bule dan seorang cewe blonde yang melihat gue menemukan iphone tadi melangkah cepat mendahului gue. Terlihat begitu tergesa-gesa. Satu dari mereka sempat menoleh ke belakang, menatap gue, tersenyum, lalu mengangkat topinya sebentar, meletakkannya kembali ke kepalanya dan kembali melangkah. Gue anggap itu sebuah compliment. Gue makin senyum-senyum dibuatnya.
Kalo loe jadi gue, apa yang bakal loe lakuin waktu loe nemu Iphone?