Aku sendiri masih nggak ngerti darimana cewek itu berasal. Yang aku tahu dia selalu datang tiba-tiba lalu pergi entah kemana.
Malam itu kepalaku terasa pusing, perutku mual, dunia di kepalaku berputar-putar. Mata ini rasanya ingin selalu terpejam, tapi lampu disco yang menyilaukan menahannya.Tiga cangkir minuman sudah membuatku mabuk berat. Maklum aku pemula. Ya..ya… aku memilih jalan ini baru lima hari yang lalu. Hidup ini menyiksaku. Masalah selalu menyesatkanku. Udah nggak ada yang peduli bahkan orang terpenting dalam hidupku telah pergi. Satu cangkir lagi, dan dengan cepat kuteguk….. genap empat cangkir. Benar-benar ingin muntah rasanya. Lalu aku memutuskan untuk pergi ke toilet di sudut kiri PUB. Aku mulai melangkah limbung. Rasanya kakiku nggak napak ke lantai. Walau tubuhku terasa berat, aku merasa melayang-layang seakan-akan ringan. Langkahku ngawur, tak teratur. Tiba-tiba…. Bruk! Lemas, aku ini benar-benar mabuk berat. Dasar bodoh!! Makiku pada diri sendiri. Sepengelihatanku samar-samar karena mabuk, aku menabrak seorang gadis yang kira-kira berumur 17 thn. Cantik…. ah aku kan mabuk. Mungkin itu nenek tua. Akupun tak sadarkan diri.
Aku mengerjapkan mataku, lalu terbangun. Namun masih setengah mabuk. Tempat yang indah, belum pernah aku ke tempat seindah ini. Rasanyapun damai sekali. Dimana aku? Surgakah ini? Tiba-tiba perutku kembali mual, aku benar-benar membuka mataku dan segalanya berubah aku sadar hanya berada di sebuah ruangan asing. Dengan cepat aku mencari kamar mandi….. karena aku sudah tak tahan ingin muntah.
“Ini, pakai saja…” Suara yang asing tapi merdu. Aku menoleh lalu mendapati seorang gadis kira-kira berumur 17 thn. Menyodorkan handuk ke arahku. Aku diam, melihat keelokannya rasanya mual itu hilang seketika. “Maaf merepotkan” Ujarku sambil menyeka wajahku dengan handuk tadi. Gadis itu kembali ke ruang tengah. Aku membuntutinya di belakang. “Sepi banget?” Tanyaku berharap bisa memecah keheningan. Dia hanya tersenyum. Aduh manis betul orang ini. “Oh iya aku Jefa… salam kenal!!” Ia menyodorkan tangannya yang putih mungil. “Iszi….” Balasku sembari tersenyum dan balas menjabat tangannya. Saat itu damai sekali. Kehangatan langsung menyelusup masuk dan sangat terasa di seluruh sendi-sendi ku. Seperti aliran listrik yang masuk ke tubuhku. Saat itu yang aku tahu, di hadapanku berdiri sosok cantik yang senyumnya sangatlah manis. Dan aku merasa sangat damai. Itu saja. Lalu aku tak ingin berlama-lama terpesona olehnya, karena aku teringat Dity. Gadis yang tidak akan pernah kulupakan. Gadis yang tak kalah cantik dengan sosok di depanku ini. Gadis yang baik, tabah namun ia juga gadis yang malang…. Aku buru-buru menarik tanganku dan melangkah agak menjauh dari Jefa. “Apa kamu masih memikirkan Dity?” Aku terkejut bukan main waktu pertanyaan itu dilontarkan Jefa. Rasanya ia bisa mambaca jalan pikiranku. “Kamu kenal Dity?!” Tanyaku terkejut. Sekali lagi ia tersenyum. “Aku tahu semua orang yang menjadi bagian dalam hidupmu. Dity gadis terbaik yang pernah ku tahu. Tapi malang…. penyakit yang selama ini disembunyikannya justru menjadi mimpi buruk untuk dirinya sendiri. Begitu kan?” Lancar sekali ia bicara, sepertinya ia tahu persis bagaimana jalan ceritanya. Tapi siapa dia? Teman Dity kah? Tapi aku tidak pernah mengenalnya. Jefa hanya tersenyum tipis. “Lantas perbuatan bodoh apa saja yang kau lakukan setelah Dity meninggalkanmu?” Aku diam tak mengerti. Bicara apa gadis ini? “Maksudmu apa?” Tanyaku berusaha menyelidik. Ia terlihat menarik napas panjang. “Pergi ke PUB, lalu mabuk-mabukan, tidakkah itu perbuatan bodoh?” Sekali lagi aku diam. Aku mulai kesal dengan gadis ini. Siapa dia sebenarnya? Kenapa ikut campur urusan pribadiku? Dan kenapa ia tahu semua tentangku? “Boleh aku pulang?” Seruku. Jujur saja aku malas bicara lagi dengan gadis yang sama sekali tak kukenal itu. Jefa, gadis itu tersenyum dan mengangguk. Kulempar handuk pemberiannya ke sofa dan melangkah kesal menuju pintu keluar. Jefa tahu aku kesal tapi ia tak bereaksi. Sekali lagi pertanyaan kuno itu muncul di benakku, siapa dia?
Aku mematikan komputer di hadapanku, mendorong kursiku kebelakang lalu bangkit dari duduk dan melangkah ke kamar mandi. Menyapu wajahku dengan air dingin. Sepintas aku teringat Jefa, gadis misterius yang baru dua hari yang lalu berhasil membuatku syok berat. Siapa ya dia? Kenapa dia tahu semua tentangku? Peramal, orang gipsi, dukun santet?! Aku jadi meringis sendiri. Sudahlah! Dia bukan siapa-siapa. Dia Cuma sosok gadis yang sok tahu dan suka ikut campur urusan orang. Sekali lagi kubasuh wajahku dengan air dan menyekanya dengan handuk. Pagi ini apa ya, yang akan aku lakukan? Aku baru teringat hari ini hari minggu, ke gereja donk? Aduh malas betul. Dulu sih enak. Kalo ke gereja pasti ketemu Dity, tapi sekarang…. Aku melangkah keluar dari kamar mandi, membuka lemari baju. Aku akan pergi ke rumah Jefa. Ya kurasa lebih baik begitu daripada aku penasaran. Motorku kuhentikan begitu sampai dirumah Jefa. Aku sedikit heran. Benar tidak ya, ini rumah Jefa? Seingatku sih ini. Aku turun dan mengetuk pintu. “Spada!!” …….. Sunyi ‘ga ada sahutan…….. “Yuhuuu…..!!” kali ini yang ke-7 kalinya. Tetep nggak ada sahutan, dan aku menyerah memilih untuk pergi dari tempat itu. Yang ada di benakku hanya dua kemungkinan. Tidak ada yang di rumah atau aku salah rumah. Ah tidak mungkin salah. Aku yakin betul ini rumah yang kudatangi waktu itu. Aku kembali melajukan motorku kali ini kuarahkan ke gereja.
Aku duduk di barisan paling belakang. Lalu aku diam. Bukan karena aku mendengarkan pak pendeta yang sedang berkhotbah, tapi aku sedang terkenang. Dity…. Kami pernah duduk di barisan ini, berdampingan. Dity terkekeh pelan waktu menyadari aku sudah terlelap saat pendeta berkhotbah. Dia buru-buru membangunkan aku dan menyodorkan sebungkus permen sambil tersenyum. Sebuah tangan terjulur menawarkan permen secara tiba-tiba. Lamunanku buyar, seseorang meawarkan aku permen? Aku tidak mengantuk. Kuangkat wajahku dan mendapati Jefa tersenyum sembari menawarkan permen. “Mau nggak?” Tanyanya, dan sekali lagi senyum manisnya ia perlihatkan. Cukup bingung aku mendapatinya duduk di sampingku, tanpa kusadari. “Gw gak ngantuk” Tolakku dingin. Ia menarik tangannya dan memasukkan permen di genggamannya ke dalam saku jeansnya. Aku memperhatikan penampilannya sebentar. Simple sekali. Hanya memakai T-shirt putih, celana jeansdan juga sepatu kets? “Kenapa?” Tanyanya heran melihat tingkahku. Aku nyengir garing dan menggeleng. Dia tersenyum. “Tadi mencariku?” Pertanyaan Jefa membuatku kaget. “Loe tau? Iya tadi gw ke rumah loe tapi rumah loe sepi….”. “Nggak usah mencariku lagi, aku pasti temuin kamu kalo kamu butuh aku” Jefa memotong kata-kataku. Aku bingung dengan maksud perkataannya itu. “Hey, maksud loe apa sih? Ga usah berlagak sok misterius gitu!” Nada bicaraku mulai meninggi karena aku merasa dipermainkan. “Ssst…… Kita lanjutin pembicaraan ini usai ibadah” Ia pun mengalihkan perhatiannya pada khotbah pendeta. Aku kaku dibuatnya. Cewek ini?!?!?!?! Batinku mangkel. Aku resah dalam dudukku. Menunggu saat ibadah usai dan aku akan membongkar identitas cewek di sampingku ini. Tunggu aja……….!!! Tekadku bulat.
* * *
“Hey, maksud loe apa sih? Ga usah berlagak sok misterius gitu!” Nada bicaraku mulai meninggi karena aku merasa dipermainkan. “Ssst…… Kita lanjutin pembicaraan ini usai ibadah” Ia pun mengalihkan perhatiannya pada khotbah pendeta. Aku kaku dibuatnya. Cewek ini?!?!?!?! Batinku mangkel. Aku resah dalam dudukku. Menunggu saat ibadah usai dan aku akan membongkar identitas cewek di sampingku ini. Tunggu aja……….!!! Tekadku bulat.
“Sebenernya loe itu siapa? Kenapa tiba-tiba gw bisa ketemu loe, kenapa loe tahu masalah gw, kenapa loe….” Serentet pertanyaan yang pastinya panjang kulontarkan. Jefa terkekeh. Entahlah aku sama sekali nggak bisa menebak gadis ini. Siapa dia saja aku nggak tahu. Aku ragu, apakah pembicaraan seusai ibadah ini mampu mengungkapkan semuanya?
“Tolong jawab pertanyaan gw”
Jefa berhenti tertawa.
“Oke. Siapa aku….aku Jefa…..Gimana cukup?”
Aku melotot tajam. Aku pikir ia akan mengerti maksudku, tapi sayang tidak.
“Lebih dari itu…..”
Jefa ganti menatapku dalam dan selalu saja senyum itu terlukis di bibirnya. Tuhan, kedamaian ini…….
“Kamu percaya malaikat itu ada…….?”
Tanyanya. Sesaat kami terdiam. Tatapan kami beradu. Lalu aku ganti terkekeh.
“Hahahaha……, jadi loe mau bilang kalo’ loe malaikat?!”
Jefa hanya senyum simpul.
“Lucu juga loe! Gw pikir Cuma anak play group doang yang percaya dongeng. Setau gw angel Cuma ada di komik ato ga…itu loh telenovela Carita de Ange…..”
“Masalah percaya atau nggak tergantung kamu pribadi. Aku di sini cuma mau jadi sahabat kamu”
“Yah… kalo temen gw punya banyak. Lagian apa iya ada sosok malaikat yang rela nyangsang di bumi Cuma buat cari temen? Kurang kerjaan banget…..Emang Yang punya surga ga mau temenan sama loe?”
“Yesus? Salah besar kalo’ kamu pikir Dia nggak mau temenan sama aku. Dia sahabat baikku….”
“Oke kalo’ bener lo sahabat baikNya, tolong sampe’in kalo’ gw kecewa sama Dia…….”
Jefa tersenyum lagi, seakan dia mengerti sesuatu.
“Kamu kecewa karena kepergian Dity…..?”
Aku diam menatap Jefa lurus-lurus mencoba menyelidiki pikirannya.
“Mmm….. kalau membicarakan perasaan kecewa semua pasti pernah merasakannya…..”
“pernah merasakan kehilangan?” Tanyaku menyela perkataan Jefa.
“Bukankah Yesus sendiri pernah merasakannya….”
Kembali terdiam.
“Ingat tidak, Yesus rela kehilangan keAllahannya selama Ia menjadi anak manusia. Bagaimana dengan masa remajaNya? Kenapa Ia menjerit Eloi Eloi Lama Sabakthani saat di kayu salib….? Yesus kehilangan banyak hal tapi Ia tidak pernah kehilangan KesetiaanNya untuk menjalani misi penyelamatan di dunia. Pernah kamu berpikir bagaimana jika Yesus tidak setia. Bukankah Dia mampu melakukan banyak keajaiban, muzizat. Apa yang terjadi jika Ia menolak untuk meminum cawan pahit yang sudah ditentukan, Jika Ia turun dari salib? Mungkin untuk saat itu orang-orang akan percaya Dia benar Sang Mesias. Tapi apakah akan ada kebangkitan? Bagaimana dengan manusia? Penebusan?”
………………………………………………………diam…………………………………………………………………
“Yesus pernah kehilangan banyak hal, tapi Ia tetap setia untuk menjalankan penebusanNya demi manusia. ApakahYesus pantas disalahkan?”
Benar yang Jefa katakan. Harusnya aku bersyukur karena kesetiaan Yesus aku selamat. Ya ampun….. ke mana aja aku selama ini? Kenapa aku melupakan kesetiaan Yesus, aku melupakan seberapa besar pengorbanan Yesus. Yesus yang juga pernah merasakan kehilangan. Dan pastinya kecewa melihatku terus menyalahkanNya atas kepergian Dity. Aku menunduk. Malu rasanya baru menyadari semuanya saat ini. Memang aku sangat menderita kehilangan orang yang kusayangi, tapi penderitaan yang kualami belum sampai meneteskan darah. Sementara Yesus rela mencurahkan darahNya untuk aku.
“Sobat, hidupmu sangat berharga di mata Tuhan. Dia telah rela menyerahkan nyawaNya dan bangkit hanya untuk memberi kehidupan bagimu. Ia mencintaimu sepenuhnya, iapun mengharapkan kesetiaanmu…..”
Jefa tersenyum lagi, kali ini kusambut dengan senyuman juga.
Hari berganti. Aku merasa lebih bisa menerima hidup ini seperti adanya. Ucapan syukurku tak henti-hentinya mengingat pengorbanan Yesus untukku. Pagi ini aku melangkahkan kakiku melewati tanah-tanah merah dan berhenti pada sudut sebuah nisan bertuliskan Aninditya. Kuletakkan sebuket mawar putih kesukaannya. Mendesah lalu pergi dari tempat itu.
“Iszi!!”
Jefa berlari kecil menghampiriku. Aku tersenyum melihat gadis itu. Ia menyodorkan tangan mungilnya. Sebuah agenda biru laut diserahkannya padaku. Aku hanya menaikkan sebelah alisku, bertanya-tanya.
“Agenda Dity…..”
Serunya. Aku mengambilnya memastikan benar milik Dity. Di sudut kanan atas tertera namanya Aninditya. Aku tersenyum. Benar milik Dity rupanya.
“Kok bisa di loe?”
“Ah udahlah itu nggak penting. Aku harus pergi. Da….”
Jefa kembali berlari kecil meninggalkanku. Anak itu. Batinku. Aku kembali melangkahkan kakiku menyusuri jalan dan bebatuan sembari mengamati agenda di tanganku. Lembar demi lembar ku baca. Terkadang aku tersenyum karena agenda ini menceritakan masa-masa ia denganku. Ungkapan bahagianya, kesal, kecewa, semua tentang aku. Lima lembar terakhir tercatat lima hari sebelum kepergiannya.
19 feb : Aku bertemu malaikat tapi tidak dengan sayapnya. Ia tersenyum padaku. Apa
aku harus pergi saat ini?Apakah aku harus menyerah pada penyakitku? Selama
ini memang tidak ada yang tahu karena aku yakin aku bisa lebih kuat.
20 feb : Malaikat itu kembali menemuiku. Ia mengingatkanku untuk kuat.
21 feb : Malaikat itu datang lagi ke kamarku. Ia berlutut berdoa, aku ikut berdoa
disampingnya…. Siapa ya aku memanggilnya… Aku akan memberinya sebuah
nama yang cantik sebelum aku pergi.
22 feb : Hari ini kenapa malaikat itu tidak menemuiku? Apa karena aku belum
menemukan nama yang manis untuknya?
23 feb : Aku sudah menemukan nama yang kurasa cukup bagus untuknya. Jefa. Aku
berharap aku bisa bertemu lagi dengannya. Dan aku akan memintanya untuk
menjaga Iszi setelah kepergianku.
Aku menutup agenda tersebut. Aku ingat 23 februari hari terakhir bagi Dity untuk menulis agenda ini. Malam harinya aku dikabarkan Dity sudah di rumah sakit dan aku sangat mengkhawatirkannya. Paginya 24 februari, kekhawatiranku terbukti. Dity pergi untuk selamanya. Aku menghentikan langkahku. Mencoba memahami hal ini. Kurasa aku mulai mengerti siapa gadis yang kutemui di PUB, gadis yang kupikir adalah seorang gipsi, peramal, dukun. Aku tersenyum waktu teringat ucapan Jefa. “Kamu percaya malaikat itu ada?” Aku rasa aku sudah tahu jawabannya.
T A M A T