One: Taksi
Ceritanya kali ini aku mengenang perjalanan liburan solo camping.
Hari yang dinantikan tiba. Liburan kala itu aku akan solo camping di Pulau Iona, Skotlandia! Saat orang serumah masih bobok cantik, jam 01:00 BST, aku dijemput. Bukan sama pangeran, tapi sama supir taksi yang akan mengantar ke Kingston Centre Terminal, di mana aku akan naik bus ke Glasgow. Yah, dijemput supir taksi pun sudah senang banget lantaran waktu itu aku jomblo ngenes. Ngenes karena gagal menjalin hubungan sama bule Polandia. Ih curhat….



Eh, tapinya… si supir taksi pun ikut-ikutan melukai hatiku. Eaaa. Tega benar itu supir taksi mau ngibulin soal tarif. Biasanya dari rumah ke Kingston Centre itu cuma £5, tapi dia minta £8. Untungnya, otakku lagi jalan kala itu. Segera ku minta bon bukti pembayaran dan dengan lantang ku sebut nama si supir dan nomor id nya. Maksudnya sih menggertak secara nggak langsung… selama aku tahu nama dan id nya, kapanpun aku bisa melapor ke perusahaan taksi yang bersangkutan. Ku amati si supir taksi jadi salah tingkah, namun ia tetap meminta £8. Ya sudahlah. Segera kurogoh selembar £5 dan tiga koin yang masing-masing bernilai £1. Ku berikan uang itu ke sang supir dan setelahnya aku segera mencatat nomor id-nya. Sengaja ku perlihatkan padanya kalau aku benar-benar mencatat nomor id dan namanya pada secarik kertas. (Jangan heran kenapa aku ready dengan kertas dan pena, dua benda itu selalu di jaketku saat aku bertualang. Karena seringkali perjalanan memberiku inspirasi menulis).
Baru saja memulai perjalanan, sudah kudapatkan pelajaran berharga. Bukan sekedar bagaimana merespon cerdik atas perilaku licik, tapi lebih dari itu. Ketika aku memperlihatkan pada si supir detik-detik saat aku mencatat nama dan id-nya, sungguh aku bergumul antara rasa geram dan iba. Seiring dengan pena yang menari di jemari, aku bertanya pada diriku sendiri: “Apakah aku akan benar-benar melaporkannya? Oh pasti lah, biar dia belajar. Tapi gimana kalo hanya karena ini dia dipecat? Mungkin dia berbuat demikian karena kepepet banget, yakin mau lapor? Iya sih, kasihan kalau sampai dipecat hanya karena £3 yang ia ‘curi’. Haruskah aku biarkan orang seperti ini? Tidak! Ia harus belajar. Hey, dia punya alasan melakukan itu. Argh….!”
Well, monolog itu berakhir tanpa jawaban. Tapi syukurlah dalam waktu 3 menit saja supir taksi itu tobat. Mungkin telah terjadi monolog juga dalam dirinya, antara melanjutkan aksi curangnya atau bertindak jujur. Mungkin bukan aku dan si supir taksi saja yang bermonolog. Tiap kita pasti punya momen bermonolog. Mungkin orang lebih kenal dengan istilah Self Talk ya… Apapun namanya, mungkin ini bisa sedikit menggambarkan bagaimana kita selalu diperhadapkan pada pilihan baik dan buruk di keseharian kita.
Eh, balik lagi ke petualanganku kala itu. Tepat pukul 02:00 akhirnya bus pun tiba. Perjalanan panjang ke pulau Iona-pun dimulai.
Bus berwarna biru dengan tulisan Megabus besar pada sisi kiri dan kanan body bus tersebut melaju menembus pagi. Perjalanan menuju Glasgow memakan waktu kurang lebih 9 jam 30 menit. Kebayang dong garing nya kayak apa 9 jam di bus sendirian. Tapi syukurlah bule ganteng di sebelah asik diajak ngobrol.