“Mimpi saya ini…” Bimbim mengangkat biolanya. Menunjukkan padaku impiannya. Sementara aku masih saja diam. Mataku menatap Bimbim lembut berharap ia melanjutkan kisahnya.
“Waktu saya memutuskan meninggalkan kampung, saya bertekad untuk mewujudkan mimpi saya. Cuma modal tekad, Mbak. Dulu, biola saja saya nggak punya. Biola ini saya dapat dari seorang kawan.” Bimbim mengusap-usap biolanya seolah itulah benda paling berharga dalam hidupnya.
“Saya rela tidur di taman ini, kadang di sini kadang di taman lain. Kadang nginep di tempat teman juga, sih. Tapi nggak enak numpang terus.”
“Trus sehari-harinya ngapain? Makannya gimana?” Tanyaku penasaran.
“Kalau siang saya ngamen, Mbak, ya buat isi perut.”
Semakin aku mendengar kisahnya, semakin aku dibuatnya bungkam. Tak sedetikpun kulepaskan pandanganku pada sosok Bimbim. Kali ini mataku mulai berkaca-kaca. Sedikit lagi mungkin aku akan menangis. Agaknya Bimbim melihat butiran air mata yang siap jatuh di pelupuk mataku. Dan lagi-lagi ia tertawa.
“Ya elah, mbak. Nggak usah nangis. Ini bukan sinetron.”
Aku buru-buru mengusap kedua mataku, menyeka butiran air mata yang siap meluncur turun. Tertawa kecil mendengar celoteh Bimbim yang asal.
“Ini pilihan hidup saya. Kalau di kampung, saya memang hidup enak, Mbak. Keluarga saya masih punya sawah. Hidup cukup lah. Tapi saya milih merantau demi mimpi. Memang butuh keberanian dan pengorbanan, Mbak. Susah dikit nggak masalah.”
Sial! Kalimatnya barusan justru membuatku benar-benar menangis. Ku usap buru-buru air mata yang tak lagi tertahan.
“Mbak, Nasrani yah?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan begitu melihatku menangis saat itu.
“Iya, kok tahu?”
Bimbim tersenyum, menunjuk kalung dengan liontin salib yang kukenakan. Ia lalu kembali menggesek biolanya memainkan satu lagu nasrani yang popular kala itu.
Bapa sentuh hatiku…ubah hidupku menjadi yang Kau mau….
Gesekan biola Bimbim menentramkan hatiku. Siang terik mendadak jadi teduh. Bertemu sosok sederhana Bimbim membawaku tenggelam ke lautan mimpi. Ya, aku juga punya mimpi, dan demikian juga orang-orang di dunia. Walau kenyataannya tak semua orang berjuang seperti Bimbim memperjuangkan mimpinya.
Beberapa orang memang pernah mengaku padaku bahwa mereka tidak memiliki mimpi apapun. Tapi aku yakin mereka hanya belum menyadarinya. Beberapa orang lainnya memilih meletakkan mimpi mereka di gudang belakang kehidupan dan meninggalkannya karena mereka takut kecewa, alih-alih mimpinya tak akan terwujud. Tak sedikit juga orang percaya yang melakukan hal serupa dengan menjadikan kehendak Tuhan sebagai alasannya. ‘Tuhan punya rencana lain untukku dan aku memilih mengikuti kehendak-Nya,’ begitu kira-kira. Lalu aku bertanya-tanya ‘benarkah Tuhan meminta kita meninggalkan mimpi kita demi kehendakNya?’