“Hai,” sapa Je singkat. Pria itu tak acuh. Ia mencelupkan kuas ke dalam kaleng cat biru muda, lalu kembali mewarnai dinding jembatan. Je berdiri tepat di sampingnya, memandangi dinding itu dengan terpukau. Ini alasan Je begitu bersemangat usai jam kantor. Setiap Rabu Je pasti singgah ke tempat ini, menjumpai si pelukis yang selalu asik dengan kuas dan warna. Entah mengapa si pelukis selalu tak meyadari kehadiran Je di sana, meskipun telah kali ketiga Je singgah.
Si pelukis tampak begitu tenggelam dalam imajinasi penuh warna dan rupa. Mungkin ia tak lagi peka dengan lingkungan sekitarnya. Itulah seni, bukan. Kadang keindahannya membuat kita begitu asik masyuk dan lupa realitas kita. Dunia ide memang terkadang menyeret kita keluar dari realita dan membuat kita sibuk dengan imajinasi dan diri sendiri.



Hari ini tidak ada yang berbeda dengan si pelukis. Ia tak menyadari kehadiran Je. Kira-kira lima belas menit sudah Je berdiri tepat di sampingnya. Mengamati warna-warni di dinding itu. Sebuah grafiti. Karya pria pelukis itu. Kalau saja dihitung, mungkin telah menit kelima belas dan detik keempat puluh lima, pria itu akhirnya menyadari kehadiran Je di sampingnya. Dipandanginya Jefa sejenak. Tampaknya ia menangkap binar di mata Je yang gamblang memperlihatkan kekaguman Je pada karyanya. Pria itu mendadak tersipu dengan sendirinya.
“Hei, sudah lama berdiri di situ?” tanyanya sambil tersenyum. Je yang tidak sadar dipandangi menoleh ke arahnya.
“Hm, lumayan. Sekitar lima belas menit mungkin.” Jawabnya balas tersenyum.
Pria itu usai dengan lukisannya. Seakan-akan ia telah kembali ke bumi setelah tadi terbang dalam dunia imaji. Ia mendarat lagi di bumi, menyadari sekitarnya. Akhirnya. “Aku hampir selesai. Setelah ini aku traktir makan malam?” lanjut si pria sambil menutup rapat beberapa kaleng catnya. Je terkejut. ‘Makan malam? Waduh..harus jawab apa aku? Apa sebesar itu keberanianku mengiyakan ajakan pria yang baru kutemui?’ terjadi pergumulan singkat dalam diri Je. Je memang baru tiga kali mampir ke tempat itu. Si pria itu sendiri mungkin tidak pernah menyadari kehadirannya sampai hari ini. Lalu apakah Je punya nyali untuk makan malam dengannya?